Syari’at Al Qur’an mengajarkan kepada
umatnya agar senantiasa beramal guna merealisasikan kepentingannya baik
kepentingan dunia atau akhirat. Sebagaimana syari’at Al Qur’an telah
menanamkan pada jiwa umatnya bahwa suatu keadaan yang ada pada mereka
tidaklah pernah akan berubah tanpa melalui upaya dan perjuangan dari
mereka sendiri. Langit tidaklah akan pernah menurunkan hujan emas dan
perak, dan bumi tidaklah akan menumbuhkan intan dan berlian. Semuanya
harus diupayakan dan diperoleh melalui perjuangan dan pengorbanan.
Allah Ta’ala berfirman,
“Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan
yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar Ra’adu: 11)
Syari’at Al Qur’an mengajarkan kepada umatnya agar senantiasa memiliki
semangat baja dan tidak kenal putus asa dalam beramal. Walau aral telah
melintang, dan kegagalan telah dituai, akan tetapi semangat beramal
tidaklah boleh surut atau padam. Berjuang dan berjuang, berusaha dan
terus berusaha hingga keberhasilan dapat direalisasikan, itulah semboyan
setiap seorang muslim dalam setiap usahanya. Allah Ta’ala berfirman,
“Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah
amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
(QS. Al Mukminun: 51)
Dan pada ayat lain, Allah Ta’ala berfirman,
“Dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada
berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.” (QS. Yusuf:
87)
Oleh karena itu sikap bermalas-malasan dan hanya menunggu uluran tangan
orang lain, tidak pernah diajarkan dalam syari’at Al Qur’an. Syari’at Al
Qur’an bahkan menganjurkan agar setiap muslim mampu menjadi anggota
masyarakat yang berguna bagi dirinya sendiri, keluarga dan juga
masyarakatnya. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Wajib atas setiap orang muslim untuk bersedekah. Dikatakan kepada
beliau, ‘Bagaimana bila ia tidak mampu?’ Beliau menjawab, ‘Ia bekerja
dengan kedua tangannya, sehingga ia menghasilkan kemanfaatan untuk
dirinya sendiri dan juga bersedekah.’ Dikatakan lagi kepadanya,
‘Bagaimana bila ia tidak mampu?’ Beliau menjawab, ‘Ia membantu orang
yang benar-benar dalam kesusahan.’ Dikatakan lagi kepada beliau,
‘Bagaimana bila ia tidak mampu?’ Beliau menjawab, ‘Ia memerintahkan
dengan yang ma’ruf atau kebaikan.’ Penanya kembali berkata, ‘Bagaimana
bila ia tidak (mampu) melakukannya?’ Beliau menjawab, ‘Ia menahan diri
dari perbuatan buruk, maka sesungguhnya itu adalah sedekah.’” (HR.
Muslim)
Dan pada hadits lain, beliau Shallallahu’alaihi wasallam bersabda,
“Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah
dibanding seorang mukmin yang lemah, dan pada keduanya terdapat kebaikan.
Senantiasa berusahalah untuk melakukan segala yang berguna bagimu, dan
mohonlah pertolongan kepada Allah, dan janganlah engkau menjadi lemah.
Dan bila engkau ditimpa sesuatu, maka janganlah engkau berkata:
seandainya aku berbuat demikian, demikian, niscaya akan terjadi demikian
dan demikian, akan tetapi katakanlah, ‘Allah telah mentakdirkan, dan apa
yang Ia kehendakilah yang akan Ia lakukan’, karena ucapan “seandainya”
akan membukakan (pintu) godaan syetan.” (HR. Muslim)
Syari’at Al Qur’an ini bukan hanya berlaku dalam urusan dunia, dan
pekerjaan dunia, akan tetapi berlaku juga pada amalan yang berkaitan
dengan urusan akhirat, yaitu berupa amalan ibadah. Hendaknya setiap
muslim berjuang dan berusaha keras dalam menjalankan ibadah kepada Allah
Ta’ala. Tidak cukup hanya beramal, akan tetapi antara sesama umat muslim
saling berlomba-lomba dalam kebajikan dan amal shalih,
“Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja),
tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka
berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu
semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu
perselisihkan itu.” (QS. Al Maidah: 48)
Dan pada ayat lain, Allah Ta’ala berfirman,
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabb-mu dan kepada surga yang
luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang
bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu
lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan
memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat
kebajikan. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan
keji atau menganiaya diri sendiri (berbuat dosa) mereka ingat akan
Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang
dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah. Dan mereka tidak
meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengatahui.” (QS. Ali
Imran: 133-135)
Walau syari’at Al Qur’an menganjurkan umatnya untuk berlomba-lomba dalam
mengamalkan kebajikan dan amal shalih, akan tetapi syari’at Al Qur’an
tidaklah melupakan berbagai keadaan yang sedang dan akan dialami oleh
masing-masing manusia. Setiap orang pasti melalui berbagai fase dari
pertumbuhan fisik, biologis, mental dan berbagai perubahan dan keadaan
yang meliputinya. Oleh karena itu syari’at Al Qur’an senantiasa
mengingatkan umatnya agar dalam beramal senantiasa memperhatikan
berbagai faktor tersebut, sehingga tidak terjadi berbagai ketimpangan
dalam kehidupan mereka, baik pada saat beramal atau pada masa yang akan
datang. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam dalam banyak haditsnya
telah menjelaskan dengan gamblang metode beramal semacam ini,
diantaranya pada sabda Beliau,
”Dari sahabat ‘Aisyah radhiallohu ‘anha, ia menuturkan, ‘Pada suatu hari
ada seorang wanita dari Bani Asad sedang berada di rumahku, kemudian
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam masuk ke rumahku, lalu beliau
bertanya, Siapakah ini? Akupun menjawab, Fulanah, wanita yang tidak
tidur malam. ‘Aisyah menyebutkan perihal sholat malam wanita tersebut.
Maka Rasulullah bersabda, Tahanlah. Hendaknya kalian mengerjakan amalan
yang kalian mampu (untuk melakukannya terus-menerus/istiqomah-pent)
karena sesungguhnya Allah tidaklah pernah bosan, walaupun kalian telah
bosan. Dan amalan (agama) yang paling dicintai oleh Allah ialah amalan
yang dilakukan dengan terus-menerus (istiqomah) oleh pelakunya.” (Muttafaqun
‘alaih)
Demikianlah Syari’at Al Qur’an mengajarkan umatnya dalam beramal, tidak
malas dan tidak memaksakan diri sehingga mengerjakan suatu amalan yang
tidak mungkin untuk ia lakukan dengan terus-menerus (istiqomah). Dan
kisah berikut adalah kisah nyata akan hal ini:
Pada suatu hari Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash rodhiallahu ‘anhu berkata,
“Seumur hidupku, aku akan sholat malam terus menerus dan senantiasa
berpuasa di siang hari.” Tatkala Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam
dilapori tentang ucapan sahabat ini, beliau memanggilnya dan menanyakan
perihal ucapannya tersebut. Tatkala Abdullah bin ‘Amer bin Al ‘Ash
mengakui ucapannya tersebut, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam
bersabda kepadanya, Engkau tidak akan kuat melakukannya, maka
berpuasalah dan juga berbukalah (tidak berpuasa). Tidur dan bangunlah (sholat
malam). Dan berpuasalah tiga hari setiap bulan, karena setiap kebaikan
akan dilipatgandakan supuluh kalinya, dan yang demikian itu sama dengan
puasa sepanjang tahun.” Mendengar yang demikian, Abdullah bin ‘Amr Al
‘Ash berkata, “Sesungguhnya aku mampu melakukan yang lebih dari itu”
Beliau menjawab, “Puasalah sehari dan berbukalah dua hari.” Abdullah bin
‘Amr Al ‘Ash kembali berkata, “Sesungguhnya aku mampu melakukan yang
lebih dari itu.” Beliau menjawab, “Puasalah sehari dan berbukalah sehari,
dan itulah puasa Nabi Dawud ‘alaihissalaam dan itulah puasa yang paling
adil.” Mendengar yang demikian, Abdullah bin ‘Amr Al ‘Ash berkata,
“Sesungguhnya aku mampu melakukan yang lebih dari itu.” Beliau menjawab,
“Tidak ada puasa yang lebih utama dari itu.” Kemudian semasa tuanya
Abdullah bin ‘Amr Al ‘Ash menyesali sikapnya tersebut dan beliau berkata,
“Sungguh seandainya aku menerima tawaran puasa tiga hari setiap bulan
yang disabdakan oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam, lebih aku
sukai dibanding keluarga dan harta bendaku.” (Kisah ini diriwayatkan
oleh Bukhari dan Muslim)
Oleh karena itu sebagian ulama’ menjelaskan bahwa metode yang benar
dalam beramal agar dapat istiqomah sepanjang masa dan dalam segala
keadaan:
“Beramallah sedangkan engkau dalam keadaan khawatir, dan beristirahatlah
dari beramal dikala engkau masih menyukai amalan tersebut (bersemangat
untuk beramal).”
Sebagian lainnya berkata,
“Sesungguhnya agama ini adalah kokoh, maka masukklah ke dalamnya dengan
cara-cara yang lembut, dan janganlah sekali-kali engkau menjadikan amal
ibadah kepada Allah dibenci oleh jiwamu, karena sesungguhnya orang yang
memaksakan kendaraannya, tidaklah dapat mencapai tujuan dan juga
tidaklah menyisakan tunggangannya. Beramallah bagaikan amalan orang yang
yakin bahwa ia tidak akan mati kecuali dalam keadaan pikun (tua renta)
dan waspadalah sebagaimana kewaspadaan orang yang yakin akan mati esok
hari.” (Az Zuhdu oleh Ibnu Mubarak 469).
|